April 2nd, 2007 by Nitha Roshita and Tobias Grote-Berverborg
Di Jakarta, air minum yang bersih menjadi barang langka dari hari ke hari. Data statistik menunjukan sekitar 90% sumur dan sumber mata air di kota ini tercemar. Bakteri e-coli dan unsur zat berbahaya lainnya bisa ditemukan dalam air minum di Jakarta. Lebih parah lagi, hanya 15% dari penduduk Jakarta yang mendapatkan layanan air bersih. Sisanya bergantung pada air yang kualitasnya diragukan dan beresiko tinggi pada kesehatan mereka.
NITA ROSHITA and TOBIAS GROTE-BEVERBORG kali ini menurunkan laporan tentang kualitas air di Jakarta, yang merupakan bagian ketiga dari rangkaian laporan “Polusi di kota Megapolitan-contoh kasus Jakarta”. Laporan ini hasil kerjasama Radio 68H dan Deutsche Welle, Radio Internasional Jerman.
Hari Minggu pagi di Ancol, sebuah pemukiman dan kawasan industri dalam satu wilayah di Utara Jakarta. Aminah, ibu rumah tangga paruh baya itu baru saja selesai mencuci pakaian dan menjemurnya di pinggir jalan. Di sebelah rumahnya ada sebuah parit kecil dengan air yang hitam pekat dan penuh sampah. Air kotor itu mengalir dari kawasan industri yang lumayan besar tepat di sebelah rumahnya dan meski tak ada yang tahu apa yang sebenarnya terdapat di dalam air kotor itu, dampaknya sudah sangat jelas. Kalau dulu di parit itu hidup ikan dan orang bisa menggunakan airnya untuk mencuci atau mandi. Sekarang, Aminah harus membeli air dari pedagang air disekitar rumahnya.
“Kadang-kadang dua hari sekali pakai jiregen, satu jirigen itu isinya 12, tapi pakainya dua hari untuk cuci sama minum. Dibantu juga sama sumur untuk nyuci kotor-kotoran nanti dibilas pakai air pam. Kalau air pam semua kita ga bisa juga, terlalu berat kalau tidak dibantu air sumur”.
Air di sumurnya juga tercemar, menyebabkan infeksi kulit kalau dipakai untuk mandi. Tapi pelayanan air dari perusahaan daerah air minum juga tak jelas jadi salah satu pilihan yang terbaik adalah membeli air dari pedagang air eceranm meskipun terkadang airnya keruh dan berbau aneh. Aminah harus membayar lima ribu rupiah atau sekitar lima puluh sen untuk mendapatkan air dari pedagang yang akan mengantarkan air kerumahnya. Air itu tak bisa langsung digunakan untuk minum tapi harus direbus terlebih dahulu.
Pedagang air, Sugeng, tinggal di jalan yang sama. Setiap hari ia mengalirkan lebih dari 8000 liter ke dalam bak tampungan di dalam rumahnya. Kemudian air itu dialirkan melalui pipa biru kecil kedalam gerobak pedagang eceran yang akan menyalurkannya ke tetangga sekitar.
Sugeng punya kesepakatan dengan perusahaan air minum untuk bisa mendapatkan air delapan ribu liter perhari. Tapi permintaan air terus meningkat, Sugeng pun mengaku terkadang ia mencuri dengan mempompa air lebih dari seharusnya.
“Sebenarnya ga boleh ya kadang-kadang aja kalau lagi kesusahan air nyedot. Abis susah sih kalau ga nyedot gini ga dapat air, sebenanya ga boleh memang ga boleh rumah-rumah juga nyedot. Kalau ngalirnya baunya menyengat sekali, bau-bau besi sama bau busuk, bau tanah kalau ngga diendepin ntar butek, jadi diendepin dulu kalau sudah agak bening baru bisa pakai. Kira-kira semalaman, kita dapat malam, kita endepin dulu, paginya baru kita jual”.
Perusahaan daerah air minum menyadari jumlah air bersih yang terus menurun. Air untuk Jakarta didatangkan dari Waduk Jatiluhur di Jawa Barat. Air dari tempat itu dialirkan melalui kanal terbuka sepanjang 80 kilometer menuju Jakarta. Yang kemudian terjadi, ada banyak unsur pencemar yang masuk ke dalam Kanal sepanjang jalan, terutama yang berasal dari tiga sungai yang bermuara di kanal itu. Pabrik lokal, pertanian dan masyarakat yang tinggal sepanjang kanal tak urung ikut mencemari kanal. Kualitas air menurun drastis dalam beberapa tahun terakhir, tapi perusahaan tak punya pilihan lain untuk terus menggunakan air itu untuk kebutuhan 12 juta penduduk Jakarta.
Juru bicara perusahaan air minum, Ramses Simanjuntak menjelaskan.
“Jatiluhur cukup baik namun karena bersinggungan dengan air dari ketiga kali ini maka terjadi polusi yang cukup berat. Dan air ini kita proses sebatas yang kita bisa proses tapi kalau polutannya terlalu tinggi kita hentikan. Karena harus menggunakan zat kimia dalam dosis tinggi dan kita tidak mau itu mengganggu kesehatan masyarakat. Kalau terjadi turbinity terlalu tinggi kita juga menghentikan produksi. Kalau kualitas air baku sepanjang bisa ditolerir masih bisa diproses, dan kualitas air yang kita produksi masih dalam batas kualitas air minum.“
Perusahaan daerah air minum sendiri sebenarnya sudah kekurangan persediaan air. Menurut organisasi pemerhati lingkungan, WALHI, setiap orang sedikitnya membutuhkan dua ratus lima puluh liter air perhari untuk minum, memasak, mencuci dan mandi. Tapi perusahaan daerah air minum hanya mampu menyediakan 100 liter perorang perhari.
Sebuah metode baru untuk menghemat dan mendaur ulang air dibutuhkan untuk menjamin persediaan air bagi warga Jakarta tetap ada. Delapan puluh persen air digunakan untuk kebutuhan domestik, berakhir menjadi limbah yang mengalir di seluruh sungai di Jakarta.
Sumber lain yang berbahaya adalah limbah beracun dari kegiatan industri. Hanya sepuluh persen perusahaan industri di Jakarta yang mengelola limbahnya sesuai aturan hukum. Sisanya sembilan puluh persen mengalirkan limbah cair berbahaya ke dalam sungai.
Slamet Daroyni, aktivis Walhi mengusulkan beberapa cara untuk menjamin kualitas air Jakarta.
“Konsekuensinya kalau tetap ingin mengelola air dengan teknologi yang sekarang dilakukan PDAM, kalau untuk menekan cost adalah mencari sumber bahan baku yang jauh dari tercemar bakter ecoli dan zat kimia. Kedua kalau memang tidak ada pilihan lain, mau tidak mau dalam konsekuensinya dengan bahan baku yang tercemar tadi costnya semakin tinggi. Maka penting untuk mengembalikan fungsi paru-paru kota dan kawasan DAS sehingga mampu memberikan solusi terbaik untuk ketersediaan air minum dan keselarasan keseimbangan ekologi dan ekonomi yang sedang dikembangkan pemerintah Jakarta”.
Menurut catatan Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah BPLHD Jakarta, 77% air sungai tercemar. Air bawah tanah juga tercemar dan air sumur di Jakarta 90 persennya berkualitas rendah, nyaris tak layak untuk dikonsumsi manusia. Tapi karena perusahaan tak mampu menyediakan air bersih sesuai permintaan, separuah penduduk jakarta bergantung pada air sumur.
Permintaan yang besar dari perusahaan industri di Jakarta menjadi salah satu alasan langkanya air bersih di kota ini. Mereka membutukan air untuk kegiatan produksi dan listrik. Sebagian besar kebutuhan itu dipenuhi perusahaan daerah air minum, mengesampingkan kebutuhan air penduduk di sekitar kawasan industri.
Kosasih Wirahadikusumah Ketua BPLHD Jakarta menginginkan perubahan dalam pola distribusi air. Ia menginginkan sektor industri mengatur sendiri persediaan airnya.
“Saat imi kami mengembangkan teknologi filsel yang akan mengahasilkan elektrositi. ini penting untuk wilayah terutama Jakarta utara yang mengkonsumsi lebih dari separuh produksi pam. Saat ini kami sedang berusaha membujuk untuk menggunakan air laut sebagai portable water bisa diminum dan digunakan untuk pembangkit listrik. Kalau saja perusahaan yang banyak di Jakut memenuhi kebutuhan sendiri maka suplay air yang selama ini mereka nikmati bisa dialihkan ke masyarakat yang tidak mampu”.
Badan ini sedang menyusun aturan hukum yang akan memaksa perusahaan menerapkan teknologi ini. Namun cara untuk mencegah pencemaran air berlanjut juga perlu dilakukan. Hanya dengan aturan yang tegas bagi pengelolaan limbah industri dan domestik akan memperbaiki kualitas air bawah tanah. Termasuk mencari cara untuk mengurangi penggunaan air secara perorangan dan menganjurkan penggunaan air seperlunya.
Warga Jakarta mulai menyadari bahwa air bukan lagi sumber alam yang tak terbatas. Ada nilai ekonomi dan ekologi yang harus dibayar untuk mendapatkan air bersih dan warga Jakarta siap merogoh kantong untuk itu.
…Laporan ini disusun NITA ROSHITA dan TOBIAS GROTE-BEVERBORG. Anda akan mendengarkan beberapa laporan lagi minggu depan dalam serial “Polusi di kota Megapolitan-contoh kasus Jakarta”- sebuah kerjasama Radio 68h and Deutsche Welle, Radio Internasional Jerman.
Short URL: https://tinyurl.com/cjvges5
Comments and Reactions
No comments yet. Why don't you write one?